Ekspedisi Carl Bock dan Mengungkap Keberadaan Suku Berekor dan Pemakan Manusia di Pedalaman Kalimantan
Seorang
penjelajah dan naturalis asal Norwegia pernah melakukan perjalanan ke
Kalimantan pada tahun 1879-1880. Ia ditugasi untuk menjajaki bagian timur
Kalimantan guna mengetahui lebih dekat mengenai orang Dayak. Sambil menyelam
minum air, ia kemudian bukan hanya mendapatkan informasi mengenai suku Dayak,
tetapi juga beberapa suku misterius yang konon menghuni pedalaman Kalimantan
yaitu Suku Berekor dan juga Suku Pemakan Manusia.
Namanya Carl
Alfred Bock. Ia adalah penjelajah dan naturalis asal Norwegia. Pada usia 19
tahun ia berangkat ke Inggris di mana kemudian ia bertemu dengan bangsawan dan
juga sejumlah ilmuwan. Salah satu dari mereka adalah Marquess Tweeddale yang
saat itu menjabat sebagai ketua Zoological Society of London.
Tweeddale adalah
seorang ahli burung (ornitolog) yang memiliki koleksi zoologi yang sangat
banyak. Nah, untuk melengkapinya ia kemudian mengirim Bock ke Hindia Belanda
pada tahun 1878. Tetapi sayangnya beberapa bulan kemudian perjalanan itu
dibatalkan karena Tweeddale meninggal dunia.
Bock yang berada
di Batavia kemudian bertemu dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu,
Johan van Lansberge yang kemudian menugasinya untuk mengunjungi bagian timur
Kalimantan untuk membuat laporan mengenai suku Dayak. Hal ini karena ternyata
saat itu orang-orang Dayak menghalangi dan menolak keras orang-orang Eropa
untuk masuk ke wilayah mereka. Bock kemudian menyanggupi tugas tersebut.
Carl Alfred Bock |
Perjalanan Bock
dimulai pada sekitar pertengahan 1879. Bock yang saat itu berusia 30 tahun
memulai perjalanan dari Samarinda ke Tenggarong dengan menggunakan perahu.
Perjalanan yang harus ditempuh dengan perahu itu sekitar 30 mil jauhnya. Dalam
sebuah kesempatan, perjalanan Bock pernah pula didampingi oleh Sultan Kutai.
Beberapa kali Bock mendapati Orang Utan di tengah lebatnya hutan Borneo itu.
Baca juga: Misteri Situs Megalitikum Gunung Padang
Selama dalam
penjelajahannya ke Samarinda, Tenggarong, dan Banjarmasin, dan pedalaman
Kalimantan, Bock menulis buku yang nantinya akan diterbitkan pada tahun 1881
berjudul "The Head Hunters of Borneo".
"The Head Hunters of Borneo" karangan Carl Bock |
Dalam buku yang
banyak digunakan oleh orang Eropa untuk mengetahui tentang Borneo dan juga
suku-suku yang mendiaminya tersebut, Bock mencatat perjumpaannya dengan
berbagai macam suku Dayak, mulai dari Dayang Tring, Dayak Modang, Orang Bukit
dari Amontai, Dayang Long Wai, dan Dayak Long Wahou.
Dalam buku
tersebut, menariknya Carl Bock juga menceritakan bagaimana pengalamannya
bertemu dengan suku kanibal pemakan manusia dan pencarian suku berekor yang
kerap disebut "Orang Boentoet" yang ada di pedalaman Kalimantan yang
sempat membuat tegang Kesultanan Kutai dan Kesultanan Paser.
Kisah Carl
Bock Didatangi Suku Pemakan Manusia
Kedatangan Bock
ke Kalimantan memang sejak awal bertujuan untuk mengetahui lebih dekat berbagai
suku Dayak yang ada di pedalaman Kalimantan.
Maka pada suatu
ketika ia melakukan perjalanan dari Kota Bangoen ke pemukiman Dayak Tring, yang
merupakan keluarga suku Bahou yang dijadwalkan akan memakan waktu sampai 4 hari
lamanya. Ia berharap dapat bertemu dengan suku itu di Moeara Pahou. Dalam
perjalanan itu juga didampingi oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Sulaiman.
Tetapi
berhari-hari telah lewat dan Bock sama sekali belum menemukan seorang pun dari
suku tersebut. Jadi ia berencana akan langsung mengunjungi kampung mereka.
Namun Sultan mengatakan bahwa sangat berbahaya menuju ke sana. Mereka akan
melewati perkampungan suku kanibal yang sangat ditakuti. Sultan juga khawatir
bila kedatangan mereka akan dianggap sebagai ancaman yang kemudian dapat
menimbulkan peperangan antar suku.
Ilustrasi suku Dayak |
Sultan kemudian
mengirimkan seorang utusan yang berperahu untuk meminta suku Dayang Tring agar
menampakkan diri. Seminggu berlalu dan tak ada kabar dari orang tersebut.
Mereka khawatir orang itu telah terbunuh dan menjadi santapan suku kanibal.
Sultan kemudian mengirimkan perahu besar yang dipimpin Kapitan Bugis.
Sekitar tiga
hari kemudian perahu itu kembali. Di dalam perahu ada sekitar 40 orang Dayak
Tring, termasuk di dalamnya 4 perempuan. Di antara rombongan tersebut ada
seorang pendeta pertempuan. Ia mengizinkan Bock untuk mengambil gambarnya.
Dalam buku "The
Head Hunters of Borneo", Bock menceritakan detail sosok-sosok yang ia lihat hari
itu. Bagaimana mereka memiliki lubang telinga yang panjang dan dilengkapi
dengan bandul logam. Ia juga takjub dengan tato-tato yang menghiasi beberapa
bagian tubuh.
Sang pendeta
mengatakan bahwa bahwa telapak tangan adalah bagian yang terbaik untuk dimakan,
sambil menunjukkan kedua telapak tangannya. Ia juga menambahkan bahwa bagian
otak, dahi dan lutut adalah hidangan yang lezat bagi sukunya.
Rupanya
pertemuannya dengan suku tersebut tak sampai di sana. Seorang kepala suku
kanibal bernama Sibau Mobang mendatangi tempat di mana Bock menginap. Kedatangannya
itu juga bersama dengan tiga pendampingnya, dua orang laki-laki dan seorang
perempuan.
Bock
menggambarkan sang kepala suku berusia sekitar 50 tahundengan kulit cokelat
kekuningan dan gigi yang habis. Sibau Mobang tampak sakit-sakitan, bahkan
lengan kanan yang dihiasi gelang logam kondisinya sudah tak bisa digerakkan.
Namun sosok sang kepala suku itu masih menunjukkan keperkasaan dan ketangkasan
yang dapat membuat musuh ketakutan.
Melalui Sibau
Mobang, Bock mengetahui bahwa suku itu tidak makan orang setiap hari. Untuk
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka biasa menyantap nasi, hewan, dan
juga buah-buahan liar. Namun menurut pengakuannya, sudah lama mereka tak
menyantap nasi karena gagal panen.
Sebelum
berpisah, Bock memberikan uang kepada masing-masing orang yang dilukisnya,
beras, untaian manik-manik, dan juga kain blacu sepanjang 22 meter yang bisa
dibagi sesama mereka. Sementara itu kepala suku Sibau memberikan
kenang-kenangan berupa 2 tengkorak laki-laki dan perempuan tanpa rahang bawah
yang dibungkus dengan daun pisang.
Misteri Suku Berekor di Pedalaman Kalimantan
Kisah mengenai Suku Berekor atau yang dikenal dengan Orang
Boentoet berawal dari abdi Sultan Kutai yang bernama Tjiropon. Rumor dan mitos
mengenai suku berekor ini membuat Bock awalnya tak begitu membuat Bock
tertarik. Ia bahkan sempat meragukan kebenarannya.
Menurut cerita Tjiropon ia pernah bertemu dengan
orang-orang yang memiliki ekor. Ekor itu panjangnya sekitar 5-10 meter. Suku
berekor ini diduga menghuni permukiman di tepi Sungai Teweh, di mana Kesultanan
Paser (Pasir) berkuasa. Menurutnya, kepala suku mereka memiliki mata dan rambut
putih. Tak hanya itu saja, menurut Tjiropon, rumah-rumah suku Orang Boentoet
ini sengaja dilubangi di bagian lantainya untuk meletakkan ekor.
Ilustrasi orang boentoet |
Awalnya tentu saja banyak yang tak percaya kisah Tjiropon,
namun sang abdi sultan bersikeras dan bersumpah bahwa apa yang dikatakannya
memang benar adanya.
Mendengar hal ini, Bock kemudian berpikir tentang teori
Darwin di mana ada rantai yang putus antara kera dan manusia. Ia pikir mungkin
ini adalah jawaban dari misteri itu. Saat itu teori Darwin memang sangat
menarik perhatian dunia Barat.
Bock lalu setuju untuk melakukan pencarian atas suku
misterius tersebut. Tak tanggung-tanggung, Bock bahkan menjanjikan uang sebesar
500 gulden kepada Tjiropon jika ia berhasil membawa orang berekor itu.
Sultan Aji Muhammad Sulaiman kemudian menulis sepucuk surat
yang ditujukan kepada Sultan Pasir yang isinya memohon agar Sultan dapat
mengirimkan sepasang manusia berekor seperti cerita Tjiropon. Sang abdi
kemudian berangkat bersama dengan surat tersebut.
Kesultanan Kutai |
Hari demi hari berlalu, tetapi Tjiropon tak juga
menampakkan batang hidungnya. Sementara itu, Bock kembali melanjutkan
perjalanannya menuju Banjarmasin. Ketika di tengah perjalanan, ia bertemu
dengan Tjiropon. Dengan penjelasan berbelit-belit, ia mengaku tak berhasil
mendapatkan ras manusia berekor seperti yang diceritakannya.
Bock akhirnya dibantu oleh Residen Banjarmasin. Mereka
mengirimkan kembali surat kepada penguasa Kesultanan Pasir menanyakan sekali
lagi mengenai keberadaan orang berekor yang ada di wilayahnya.
Hampir sebulan lamanya tak ada balasan dari Sultan Pasir
hingga akhirnya sebuah surat jawaban sampai juga ke tangan Residen Banjarmasin. Dalam
surat itu Sultan mengatakan bahwa tampaknya telah ada kesalahpahaman. Orang
Boentoet di Pasir adalah sebutan untuk para pengawal pribadi Sultan. Sang
Sultan yang marah kemudian mengancam akan melakukan perlawanan terhadap Sultan
Kutai.
Meskipun demikian, Tjiropon tetap pada pendiriannya. Ia
memang pernah melihat langsung manusia berekor di Pasir. Tak hanya melihat, ia
juga mengaku sempat berbicara dengan mereka.
Semua catatan dan kisah perjalanan Carl Bock di Kalimantan
kemudian dibukukan dengan judul 'The Head Hunters of Borneo" yang dipublikasikan
dalam bahasa Belanda pada tahun 1881.
Posting Komentar untuk "Ekspedisi Carl Bock dan Mengungkap Keberadaan Suku Berekor dan Pemakan Manusia di Pedalaman Kalimantan"